Hampir sebulan berlalu sejak bendera Amerika Serikat diturunkan di Bethpage Black, tetapi Keegan Bradley masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Kekalahan di Ryder Cup 2025 itu, katanya, akan menjadi bayangan yang tak akan pernah hilang sepanjang hidupnya.
“Kalau kamu menang, itu jadi kebanggaan seumur hidup. Tapi kalau kalah, itu jadi beban seumur hidup juga,” ujar Bradley, Senin (20/10), dalam acara media Travelers Championship, turnamen yang musim lalu berhasil ia menangi. “Tak ada bagian dari diriku yang berpikir aku akan bisa melupakan ini.”
Bradley, yang dua kali memperkuat tim Amerika di Ryder Cup sebelum dipercaya menjadi kapten tahun ini, mewarisi skuad yang disebut-sebut sebagai salah satu tim terkuat dalam sejarah. Dengan dukungan publik sendiri, Amerika Serikat datang ke Bethpage sebagai favorit mutlak. Namun yang terjadi justru sebaliknya — mimpi itu runtuh di dua hari pertama.
Tim Eropa unggul telak 11,5–4,5 pada Sabtu malam, selisih terbesar dalam sejarah Ryder Cup modern. Semua rencana matang Bradley seolah runtuh dalam sekejap.
“Kami sudah menaruh begitu banyak tenaga, perencanaan, dan persiapan — lalu semuanya hancur begitu cepat,” ujarnya lirih. “Dua hari pertama berjalan seburuk mungkin. Jujur saja, itu menyakitkan.”
Meskipun tim AS sempat memperlihatkan semangat juang di hari terakhir dengan merebut 8,5 poin dari partai tunggal, defisit itu terlalu besar untuk dikejar. Eropa akhirnya mengangkat trofi, sementara Bradley harus menelan kenyataan pahit di hadapan publik sendiri.
Dia pun tak menolak untuk memikul sebagian tanggung jawab. Dari strategi pemilihan pemain, penentuan pasangan, hingga keputusan kontroversial untuk tidak menurunkan dirinya sendiri — semua kini menjadi bahan perenungan.
“Sejak Ryder Cup sampai sekarang adalah masa terberat dalam hidup saya,” aku pria 39 tahun itu. “Saya benar-benar ingin bermain lagi. Tapi saya tidak tahu apakah kesempatan itu akan datang.”
Bradley sempat mempertimbangkan menjadi kapten merangkap pemain — sesuatu yang terakhir kali dilakukan Arnold Palmer pada 1963 — namun akhirnya memilih untuk fokus di balik tali pembatas.
“Pada hari latihan pertama, saya melihat para pemain berjalan di fairway dan berpikir, ‘Duh, saya ingin berada di sana.’ Tapi di hari kedua atau ketiga, saya begitu lelah sampai sadar: saya tak mungkin melakukan dua hal sekaligus,” katanya mengenang.
Kendati diselimuti kekecewaan, Bradley tetap bersyukur telah merasakan pengalaman unik yang jarang dimiliki pegolf mana pun.
“Saya menjalani sesuatu yang tidak akan dialami orang lain — menjadi kapten Ryder Cup sambil tetap berkompetisi dan bahkan memenangkan turnamen,” ujarnya. “Dukungan dari para penggemar sungguh luar biasa. Itu pengalaman luar biasa.”
Namun, di balik senyum dan tawa pahit, luka itu belum sembuh.
“Turnamen sialan ini benar-benar kejam bagi saya,” ucapnya sambil tertawa getir. “Aneh rasanya mencintai sesuatu sedalam itu tapi tidak pernah mendapatkan balasan.”
Kini, Bradley berusaha melupakan “kabut Ryder Cup” dan mengembalikan fokusnya ke musim reguler PGA Tour. Tetapi, seperti ia akui sendiri, memori Bethpage Black akan terus hidup bersamanya — bukan sebagai aib, melainkan sebagai pengingat bahwa di balik cinta terhadap golf, selalu ada harga emosional yang harus dibayar.









Users Today : 353
This Month : 12931
This Year : 110088
Total Users : 235738
Total views : 695084
0 Comments