Setelah hampir 30 tahun, Happy Gilmore akhirnya kembali ke lapangan. Happy Gilmore 2, yang tayang perdana di Netflix pada 25 Juli 2025, membawa kembali Adam Sandler dalam karakter ikoniknya—si pegolf temperamental yang dulu menantang norma PGA dengan ayunan hoki dan emosi meledak-ledak.
Sekuel ini diarahkan oleh Kyle Newacheck dan ditulis langsung oleh Sandler bersama kolaborator lamanya, Tim Herlihy. Hasilnya? Sebuah film yang mencoba berdiri di antara tiga pilar: komedi absurd, sindiran dunia golf modern, dan drama keluarga emosional.
Awal yang Tragis, Perjalanan yang Kacau
Kisah dimulai dengan Happy yang kini menjalani kehidupan sebagai ayah lima anak bersama Virginia Venit (Julie Bowen). Namun, nuansa hangat itu seketika diganti tragedi: Virginia meninggal akibat kecelakaan bola golf. Happy jatuh dalam lingkaran alkohol dan meninggalkan golf—hingga anak perempuannya, Vienna (Sunny Sandler), membutuhkan biaya sekolah balet.
Untuk pertama kalinya dalam dua dekade, Happy kembali ke dunia yang dulu ia taklukkan. Tapi kali ini, musuhnya tak hanya Shooter McGavin (Christopher McDonald), melainkan juga dunia golf yang telah berubah: lebih “komersial”, lebih ekstrem, dan lebih… satir.

LIV Golf, Minuman Energi, dan Kritik Halus ke Industri
Karakternya Benny Safdie sebagai Frank Manatee—CEO perusahaan minuman energi—jelas karikatur dari revolusi industri golf modern. Penonton berpengalaman akan dengan cepat menangkap sindiran halus terhadap liga-liga alternatif seperti LIV Golf, yang menekankan sensasi dan dana besar ketimbang sportivitas.
Di sinilah Happy Gilmore 2 mengambil risiko: bukan hanya mencoba menghibur, tapi juga menyentil. Sayangnya, pesan ini kadang tenggelam dalam kekacauan cerita dan lelucon yang tidak selalu berhasil mendarat dengan mulus.
Parade Nostalgia dan Cameo Dunia Golf
Bagi penggemar film pertamanya, sekuel ini adalah festival nostalgia. Dari Hal L. (Ben Stiller) hingga Gary Potter (Kevin Nealon), kehadiran karakter lama terasa seperti reuni hangat. Tak hanya itu, para pegolf pro seperti Rory McIlroy, Scottie Scheffler, dan John Daly ikut tampil. Daly bahkan digambarkan sebagai penghuni garasi Happy.
Penonton disuguhi pertarungan di pemakaman sebagai tribute untuk Bob Barker dan Carl Weathers (Chubbs), sebuah adegan yang absurd tapi menyentuh.
Namun, di balik parade cameo yang menghibur, cerita inti kerap kehilangan fokus. Sejumlah karakter baru terasa klise, dan beberapa dialog tampak terlalu mengandalkan referensi masa lalu.
Golf yang Tetap Otentik
Meski sarat elemen komedi, film ini tak melupakan akarnya: golf. Adegan-adegan turnamen dirancang dengan cermat, berkat kolaborasi dengan Pro Shop Studios. Shot-making, lapangan, dan atmosfer kompetisi tetap terasa autentik bagi mata penikmat golf sejati.
Sayangnya, keaslian ini kadang tergeser oleh usaha film untuk jadi “lebih besar” dan “lebih lucu”, meski tak selalu berhasil.
Kesimpulan: Golf, Tawa, dan Luka Lama
Happy Gilmore 2 adalah campuran tak rata antara kekonyolan, nostalgia, dan drama. Ia berhasil menghibur dan memancing tawa, terutama bagi penonton yang sudah lama merindukan sosok Happy. Namun, dari sudut pandang sinema dan penceritaan, film ini belum seimbang.
Sandler tetap tampil dengan karisma kuat, namun humor khasnya kini terasa lebih dewasa—atau setidaknya, lebih terkekang oleh realitas usia dan cerita keluarga.
Rating GolfTimes: 6.5/10
Bagi penggemar Sandler dan golf, ini sajian ringan yang cukup menyenangkan. Tapi bagi mereka yang mencari penceritaan yang solid atau kedalaman dalam satir olahraga, Happy Gilmore 2 belum bisa jadi juara turnamen.










Users Today : 456
This Month : 13034
This Year : 110191
Total Users : 235841
Total views : 695568
0 Comments