Di ujung timur Pulau Madura, ada sebuah kabupaten yang diam-diam menyimpan wajah terbaik Indonesia.
Namanya Sumenep. Dari daratan hingga pulau-pulau terluarnya, dari logat bahasa hingga ritual adat, Sumenep memperlihatkan bagaimana keberagaman bisa hidup harmonis, bukan sekadar wacana.
Sebagai anak yang lahir di Kalianget—sebuah kawasan pelabuhan yang menjadi nadi pergerakan masyarakat kepulauan—saya tumbuh di tengah aroma asin laut dan deru perahu yang datang silih berganti. Kangean, Sapudi, Raas, Masalembu—nama-nama itu bukan sekadar titik di peta, tetapi bagian dari keseharian.
Yang menarik, setiap penumpang kapal datang dengan dialek yang berbeda. Bahasa Kangean, misalnya, terdengar asing bagi telinga Madura daratan. Namun anehnya, kami semua tetap bisa saling memahami. Karena di hati, ada yang lebih kuat dari sekadar kesamaan kata: rasa satu saudara.
“Settong Dere Settong Tretan.” Satu saudara, satu hati. Bukan sekadar semboyan, melainkan cara hidup yang diwariskan.
Bertemu dalam Perbedaan
Saya pernah mengikuti peik laut di salah satu desa nelayan—sebuah ritual syukur masyarakat pesisir kepada laut. Iring-iringan perahu, sesajen, doa bersama, semuanya menciptakan suasana sakral yang sederhana. Tapi yang paling menyentuh bukanlah upacaranya, melainkan siapa yang hadir.
Bukan hanya umat Muslim. Ada juga Hindu, bahkan Buddha. Mereka datang bukan karena diundang secara resmi, tapi karena merasa terlibat. Rasa memiliki tradisi bersama. Inilah wajah toleransi yang tidak dipaksa, tidak dimanipulasi, dan tidak dijadikan alat politik. Ia tumbuh alami.
Nilai-nilai itu bukan ajaran kaku dari buku pendidikan kewarganegaraan. Ia hidup dan bernapas di antara nelayan, petani, hingga anak-anak sekolah. Sila pertama Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa—di sini berarti menghormati bagaimana orang lain menyembah Tuhan mereka.
Identitas yang Dirayakan
Ada satu momen lain yang membuat saya menyadari betapa Sumenep menjaga identitasnya dengan penuh cinta: karapan sapi. Di tanah berdebu yang kering, dua ekor sapi berlari kencang, ditunggangi joki mungil yang memacu adrenalin. Bagi sebagian orang, ini hanya tontonan. Tapi bagi kami, ini adalah kebanggaan.
Yang datang tidak hanya warga lokal. Ada wartawan asing, turis dari Eropa, hingga YouTuber Korea yang merekam semuanya. Mereka bukan sekadar menonton lomba, tapi menyaksikan budaya yang terus dijaga. Di tengah dunia yang semakin seragam, Sumenep menjadikan perbedaan sebagai daya tarik.
Inilah keadilan sosial versi kami: budaya bukan milik segelintir, tapi milik bersama.
Alam yang Memberkati
Sumenep juga punya rahasia lain yang belum banyak diketahui. Pulau Gili Iyang, misalnya, dikenal sebagai pulau dengan kadar oksigen terbaik kedua di dunia. Banyak warga lansia hidup sehat tanpa penyakit degeneratif. Udara terasa ringan, dan waktu seperti berjalan lebih lambat.
Lalu ada Gili Labak, surga kecil di tenggara Sumenep. Pasir putih dan air laut sebening kristal menjadikannya surga bagi para penyelam. Terumbu karangnya masih alami, dan suasana damainya membuat siapa pun betah berlama-lama.
Ini bukan sekadar destinasi wisata. Ini adalah wajah lain dari sila kelima Pancasila—keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa keindahan bukan hanya milik Bali, Labuan Bajo, atau Raja Ampat, tapi juga milik pulau kecil yang dijaga dengan penuh cinta.
Tanpa Slogan Baru
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep tahun 2021, terdapat 1.124.436 jiwa yang tersebar di 126 pulau. Angka yang menunjukkan besarnya keberagaman bahasa, iman, dan adat istiadat. Tapi angka hanyalah statistik. Yang tidak bisa dihitung adalah kedalaman rasa saling percaya dan kesetiaan menjaga satu sama lain.
Di Sumenep, kami tidak butuh slogan baru. Karena sejak lama, “Settong Dere Settong Tretan” telah menjadi prinsip hidup kami. Dan ketika saya berdiri di tepi laut Kalianget, melihat anak-anak Gili Labak tertawa bermain air, atau mendengar orang Kangean menyapa dalam logat khas mereka—saya tahu, Pancasila tidak sedang mati suri. Ia hidup, mengalir, dan menyatu bersama angin timur Madura.
0 Comments